Memantaskan Diri…


Gambar : Danang

Aku terkesan dengan kata yang ada di judul postingan ini “MEMANTASKAN DIRI”. Sebenarnya kata itu aku dapatkan ketika suatu malam via YM iseng bertanya pada Teh Maryam seorang seniorku di Pendidikan Ilmu Komputer.

Teh berapa bulan lagi nyusul teh Yeni?

Teh Yeni, adalah salah satu teman terdekat teh Maryam yang pada saat itu segera akan menggenapkan setengah dien nya. Dan teh Maryam nya menjawab seperti ini

Aku sedang memantaskan diri sil.

Mhm…karena dong – dong nya, si isil ga nangkep maksudnya. Aku malah membaca “mementaskan diri” pake “e” bukan “a”. Dan kembali bertanya

Mementaskan diri???

dan teh maryam nya menjawab

Bukan, MEMANTASKAN DIRI.

Aku ingin mendapatkan seorang suami seperti Ali. Makanya aku harus memantaskan diri menjadi seperti Fathimah.

Yaps, jawaban singkat dan padat dari teh Maryam itu yang ingin aku angkat buat postingan kali ini. (izin ya teh 🙂 ) Tentang 2 buah kata yang punya makna luas “MEMANTASKAN DIRI”. Memantaskan diri menjadi seorang yang layak dicintai dan diterima oleh siapapun. Tidak hanya pantas bagi “si Dia” seorang yang akan jadi pasangan kita kelak, tidak hanya bagi teman – teman yang bergaul dengan kita setiap hari tapi juga  bagi Allah sang Maha pemilik segalanya.

Hampir sama seperti tulisannya Ahmad Zairofi Am dalam bukunya “Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda” yang bertanya mengenai “layakkah kita dicintai?”.

Bertanyalah kita. Hari ini. Sejenak saja. Kepada diri sendiri. Tentang sebuah lambang keberartian dan makna hidup yang sangat mendalam : kelayakan untuk dicintai . Maka, layakkah kita dicintai?

Ya, layak dicintai adalah lambang keberartian. Sebab cinta tak dipersembahkan untuk padang jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya – karya yang tak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita layak dicintai. Hidup tak akan memberi ruang untuk orang- orang yang kikir atau degil, yang hanya bisa merusak dan tak pernah bisa membangun. Yang hanya pandai mengkhianati, menyakiti, dan tak pernah berdaya untuk merajut kembali. Yang hatinya beku dan tak pernah mampu mengilhami. Hanya bila kita berarti, maka kita layak dicintai.

“Hanya bila kita berarti, maka kita layak dicintai.” Itulah kata kunci yang saya ambil dari penggalan tulisan Ahmad Zairofi Am diatas. Untuk menjadi berarti itu kita harus melakukan sebuah proses, yaitu proses memantaskan diri menjadi orang yang berarti.

Memantaskan diri menggambarkan sebuah proses. Proses dimanaa ada sebuah aksi yang kita lakukan untuk mencapai tujuan itu. Tidak hanya diam  dan berpangku tangan dengan apa yang sudah kita miliki, tapi ada sebuah gerakan nyata yang kita lakukan untuk jawaban “YES”, ketika ditanya “pantaskah kita dicintai?”.

Memantaskan diri punya makna perjuangan dan usaha. Usaha yang kita lakukan agar gelar layak dicintai tersemat di diri ini. Yang tentu nya tersemat bukan untuk sebuah status saja. Tapi dengan makna yang lebih dalam, tentang perjuangan dan peluh yang kita keluarkan untuk mencapai itu.

Jika kita ingin punya suami yang sholeh, berarti kita harus memantaskan diri menjadi seorang istri yang sholehah. Memantaskan diri dengan ilmu dan amalan seperti seorang Fathimah.

Jika kita ingin punya IPK tinggi, berarti kita harus memantaskan diri menjadi mahasiswa rajin. Memantaskan diri dengan perjuangan dan usaha terus belajar.

Jika kita ingin punya teman yang banyak, berarti kita harus memantaskan diri menjadi sahabat yang baik. Memantaskan diri dengan peduli dan mengerti keadaan sahabat kita.

Dan jika kita ingin Allah selalu mencintai kita, berarti kita harus memantaskan diri menjadi hamba Nya yang patuh dan taat. Memantaskan diri dengan mengikuti segala perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Sekarang mari kita tengok ke diri kita masing – masing. Sudah pantaskah kita dicintai? Sudah layakkah kita menjadi orang yang dicintai? Jika belum, mari kita mulai dari sekarang MEMANTASKAN DIRI kita menjadi orang yang layak dicintai. Tentunya dengan usaha, perjuangan, dan proses yang kita lakukan.

35 thoughts on “Memantaskan Diri…

  1. siiip…, luar biasa
    semoga kita memang layang menjadi pribadi yang dicintai
    dan menjadi pribadi2 yang ‘terbaik’, amin ^^v
    ===============================
    amin… 🙂

  2. ikut baca ya?!
    boleh kan
    bukan untuk akhwat only kan? hehehhe

    luar biasa, jadi inget petikan ayat alqur’an yang redaksinya wanita baik untuk laki2 yang baik dan sebaliknya
    yang pentingnya kan semangat memperbaiki diri. klo masalah jodoh mah udah Allah atur. hehehe (punten agak sotoy, lagi kumat)
    ========================
    iya boleh…ga ada larangan kok..
    ini untuk siapa pun yang mau membaca
    hehe…itu mah bukan kumat ki…
    tapi emang lagi baik aja…hehe

  3. (maaf) izin mengamankan KETIGA dulu. Boleh kan?!
    Mementaskan diri dan memantaskan diri, dilihat dari katanya hampir mirip tapi dari perilakunya pasti akan jauh beda baget
    ============================
    monggo kang alam
    bener banget, 2 kata yang mirip tapi punya makna yang kontras

  4. Sil …
    kata-kata ini sungguh powerful …

    “layakkah kita dicintai?”.

    Walaupun saya sudah menikah …
    Namun kalimat itu harus tetap saya pertanyakan untuk diri saya sendiri …
    Ini sebagai alat pacu untuk tetap berada di garis NYA …

    Thanks Sil …
    =======================
    yups setuju dengan om NH…
    sil ketika liat judul itu di buku yang diatas..
    langsung ngena…
    dan tepat banget kata2nya..

    moga

  5. jodoh dan rizki, sama2 ditangan Allah… harus dicari dengan cara yang halal pula…^^ bagus Sil postingannya, keep go a head ?!
    ==========================
    bener ra…setuju
    tadi mikir malu siapa ya?eh ternyata era…
    hohoho
    makasih sudah berkunjung ra….

  6. Makasih banyak dek udah mengingatkan masmu ini. Memang bener banget kata Allah, wanita yang baik-baik untuk laki-laki yang baik-baik pula.
    =================================
    yups..sama2 mas…
    moga kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita alami

  7. Upaya memantaskan diri juga perlu didukung dengan kefahaman (agama0 dan bertambahnya ilmu yang dengan sendiriny akan menambahkan bobot serta kualitas perilaku pada orang ybs.. semoga upayamu dankit asemua dalam memantaskan dirimasing-masing menuju yang terbaik senantiasa diridhoi Alloh SWT. Amiin.

    Seneng udh bisa mampir kesini, salam hangat dari afrika barat..

  8. Pingback: “Gelar” vs Tanggung Jawab « Mulai mencatat …..

  9. betul-betul jiwa wanita sholehan si teh teh nya itu, tak banyak orang yang bisa menempatkan diri seperti itu. maunya minta yang lebih diantara banyak kekurangan diri sendiri.
    salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

  10. Pingback: Suami Istri Berkarakter Surgawi - KakaAkin

  11. menjadi bukan mencari…
    menjadi mahasiswa terbaik, bukan mencari dosen terbaik
    menjadi muslimah terbaik, bukan mencari calon yang terbaik..
    sip..sip… mari memantaskan diri 🙂

  12. baca judulny ga ngerti aq, tpi ketika dah baca isi n mksudny… jdi malu dg diri sndiri, sudah pantaskah saya…???

    klu gtu aq akan berusaha memantaskan diri sperti Ali, biar nnti mndapat jodoh sperti Fathimah…. 🙂 amin…

  13. Kalau saya tahu kalimat itu dari pak Mario: pantaskan diri anda untuk sukses dengan menjadi pribadi yang bla..bla..bla.. 🙂
    Ya, prosesnya bisa sambil jalan sebenarnya. Menunggu sampai benar2 “pantas” itu pun tidak jelas tolok ukurnya. Jadi, bismillah saja, yang penting sudah ada niat dan memulai langkah pertama utk menjadi baik dan pantas bagi pasangan yg diharapkan.

  14. ya emang begitu seharus nya kita. kalau ingin jadi bintang cemerlang, kita harus bisa memantaskan diri di malam hari agar binta lebih kelihatan. oke salam kenal….wasslam

  15. Wah aku belum punya buku “hidup bukan siaran tunda”, baru yang Lelaki hitam pendek lebih jelek dari untanya. Tulisan ahmad zahrofi dikupas lagi ternyata disini, digabungkan dengan realita yang ada. Jadi apik.

Leave a reply to dira Cancel reply